back sound

pluginspage="http://www.macromedia.com/go/getflashplayer" quality="high" width="1" src="http://www.swfcabin.com/swf-files/1257488371.swf" height="1" type="application/x-shockwave-flash

back sound

back sound

http://www.swfcabin.com/swf-files/1252840473.swf

bersama

http://www.swfcabin.com/swf-files/1257488371.swf

Jumat, 24 Januari 2014

ARGENTOMETRI METODE MOHR


TITRASI PENGENDAPAN : ARGENTOMETRI
I.              Tujuan
Setelah melakukan percobaan ini diharapkan mahasiswa dapat melalukan titrasi pengendapan metode mohr 
a.             siswa mampu menentukan kadar NaCl pada air laut dan menentukan kadar NaCl pada garam Dapur
b.          
II.           Dasar Teori
Istilah Argentometri diturunkan dari bahasa latin Argentum, yang berarti perak. Jadi, Argentometri merupakan salah satu cara untuk menentukan kadar zat dalam suatu larutan yang dilakukan dengan titrasi berdasarkan pada pembentukan endapan dengan ion Ag+. Salah satu cara untuk menentukan kadar asam-basa dalam suatu larutan adalah dengan volumetri (Day & Underwood, 2001).
Argentometri merupakan titrasi pengendapan sampel yang dianalisis dengan menggunakan ion perak. Biasanya, ion-ion yang ditentukan dalam titrasi ini adalah ion halida(Cl-, Br-, I-) (Khopkar,1990). Ada tiga tipe titik akhir yang digunakan untuk titrasi dengan AgNO3 yaitu :
1. Indikator
2. Argentometri
3. Indikator kimia
Titik akhir potensiometri didasarkan pada potensial elektrode perak yang dicelupkan ke dalam larutan analit. Titik akhir argentometri melibatkan penentuan arus yang diteruskan antara sepasang mikroelektrode perak dalam larutan analit. Sedangkan titik akhir yang dihasilkan indikator kimia, biasanya terdiri dari perubahan warna/muncul tidaknya kekeruhan dalam larutan yang dititrasi. Syarat indikator untuk titrasi pengendapan analog dengan indikator titrasi netralisasi, yaitu : 
1.      Perubahan warna harus terjadi terbatas dalam range pada p-functiondari reagen/analit.
  1. Perubahan Warna harus terjadi dalam bagian dari kurva titrasi untuk analit.(Skoog et al.,1996)

Pada titrasi argentometri, zat pemeriksaan yang telah dibubuhi indikator dicampur dengan larutan standar garam perak nitrat (AgNO3). Dengan mengukur volume larutan standar yang digunakan sehingga seluruh ion Ag+  dapat tepat diendapkan, kadar garam dalam larutan pemeriksaan dapat ditentukan (Isnawati, 2010).
Reaksi pengendapan ialah apakah reaksi ini dapat terjadi pada suatu keadaan tertentu.Jika Q adalah nilai hasil kali ion-ion yang terdapat dalam larutan, maka kesimpulan yang lebihumum mengenai pengendapan dasar larutan adalah :y Pengendapan terjadi jika Q > Kspy Pengendapan tak terjadi jika Q < Kspy Larutan tepat jenuh jika Q = Ksp (Petrucci, 1989).Jika suatu garam memiliki tetapan hasil kali larutan yang besar, maka dikatakan garam tersebut mudah larut. Sebaliknya jika harga tetapan hasil kali larutan dari suatu garam tertentu sangat kecil, dapat dikatakan bahwa garam tersebut sukar untuk larut. Harga tetapan hasil kali kelarutan dari suatu garam dapat berubah dengan perubahan temperatur.Umumnya kenaikan temperatur akan memperbesar kelarutan suatu garam, sehingga harga tetapan hasil kali kelarutan garam tersebut juga akan semakin besar (Petrucci, 1989).
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kelarutan suatu zat adalah:
1. pH
2. Temperatur
3. Jenis pelarut
4. Bentuk dan ukuran partikel
5. Konstanta dielektrik pelarut
6. Adanya zat-zat lain, misalnya surfaktan pembentuk komplek ion sejenis, dll. (Pantang,2010)
III.         Prinsip Percobaan
Percobaan ini berdasarkan pada reaksi pengendapan zat yang cepat mencapai kesetimbangan pada setiap penambahan titran. Adapun pentiter yang digunakan adalah larutan baku AgNO3.
Titrasi argentometri ini dapat dilakukan dengan 3 macam metode, yaitu:
a. Cara Mohr

Dilakukan dalam suasana netral, sebagai indikatornya digunakan kalium kromat. Titik akhir titrasi dengan cara ini adalah merah bata.

Salah satu cara untuk menentukan kadar asam-basa dalam suatu larutan adalah dengan volumetri (titrasi). Volumetri (titrasi) merupakan cara penentuan kadar suatu zat dalam larutannya didasarkan pada pengukuran volumenya.
Berdasarkan pada jenis reaksinya, volumetri dibedakan atas :
1. Asidimetri dan alkalimetri
2. Oksidimetri
3. Argentometri
Volumetri jenis ini berdasar atas reaksi kresipilasi (pengendapan dari ion Ag+).

Istilah Argentometri diturunkan dari bahasa latin Argentum, yang berarti perak. Jadi, Argentometri merupakan salah satu cara untuk menentukan kadar zat dalam suatu larutan yang dilakukan dengan titrasi berdasar pembentukan endapan dengan ion Ag+. Pada titrasi argentometri, zat pemeriksaan yang telah dibubuhi indikator dicampur dengan larutan standar garam perak nitrat (AgNO3). Dengan mengukur volume larutan standar yang digunakan sehingga seluruh ion Ag+ dapat tepat diendapkan, kadar garam dalam larutan pemeriksaan dapat ditentukan (Underwood,1992).

Ada tiga tipe titik akhir yang digunakan untuk titrasi dengan AgNO3 yaitu :
1. Indikator
2. Amperometri
3. Indikator kimia
Titik akhir potensiometri didasarkan pada potensial elektrode perak yang dicelupkan kedalam larutan analit. Titik akhir amperometri melibatkan penentuan arus yang diteruskan antara sepasang mikroelektrode perak dalam larutan analit. Sedangkan titik akhir yang dihasilkan indikator kimia, biasanya terdiri dari perubahan warna/muncul tidaknya kekeruhan dalam larutan yang dititrasi. Syarat indikator untuk titrasi pengendapan analog dengan indikator titrasi netralisasi, yaitu :
1. Perubahan warna harus terjadi terbatas dalam range pada p-function dari reagen /analit.
2. Perubahan Warna harus terjadi dalam bagian dari kurva titrasi untuk analit.
    (skogg,1965)
Berdasarkan pada indikator yang digunakan, argentometri dapat dibedakan atas :
1. Metode Mohr (pembentukan endapan berwarna)
Metode Mohr dapat digunakan untuk menetapkan kadar klorida dan bromida dalam suasana netral dengan larutan standar AgNO3 dan penambahan K2CHO4 sebagai indikator. Titrasi dengan cara ini harus dilakukan dalam suasana netral atau dengan sedikit alkalis, pH 6,5 – 9,0. Dalam suasana asam, perak kromat larut karena terbentuk dikromat dan dalam suasana basa akan terbentuk endapan perak hidroksida. Reaksi yang terjadi adalah :
Asam : 2CrO42-    +     2H-          ↔        CrO72-      +       H2O
Basa   : 2Ag+        +     2OH-      ↔       2 AgOH
2AgOH                          ↔      Ag2O       +       H2O
Sesama larutan dapat diukur dengan natrium bikorbonat atau kalsium karbonat. Larutan alkalis diasamkan dulu dengan asam asetat atau asam borat sebelum dinetralkan dengan kalsium karbonat. Meskipun menurut hasil kali kelarutan iodida dan tiosianat mungkin untuk ditetapkan kadarnya dengan cara ini. Namun oleh karena perak lodida maupun tiosanat sangat kuat menyerang kromat, maka hasilnya tidak memuaskan. Perak juga tidak dapat ditetapkan dengan titrasi menggunakan NaCl sebagai titran karena endapan perak kromat yang mula-mula terbentuk sukar bereaksi pada titik akhir. Larutan klorida atau bromida dalam suasana netral atau agak katalis dititrasi dengan larutan titer perak nitrat menggunakan indikator kromat. Apabila ion klorida atau bromida telah habis diendapkan oleh ion perak, maka ion kromat akan bereaksi membentuk endapan perak kromat yang berwarna coklat/merah bata sebagai titik akhir titrasi. Sebagai indikator digunakan larutan kromat K2CrO4 0,003M atau 0,005M yang dengan ion perak akan membentuk endapan coklat merah dalam suasana netral atau agak alkalis. Kelebihan indikator yang berwarna kuning akan menganggu warna, ini dapat diatasi dengan melarutkan blanko indikator suatu titrasi tanpa zat uji dengan penambaan kalsium karbonat sebagai pengganti endapan AgCl.


Pembentukan Endapan Berwarna
Seperti sistem asam, basa dapat digunakan sebagai suatu indikator untuk titrasi asam-basa. Pembentukan suatu endapan lain dapat digunakan untuk menyatakan lengkapnya suatu titrasi pengendapan. Dalam hal ini terjadi pula pada titrasi Mohr, dari klorida dengan ion perak dalam mana digunakan ion kromat sebagai indikator. Pemunculan yang permanen dan
dini dari endapan perak kromat yang kemerahan itu diambil sebagai titik akhir (TE). Titrasi Mohr terbatas untuk larutan dengan perak dengan pH antara 6,0 – 10,0. Dalam larutan asam konsentrasi ion kromat akan sangat dikurangi karena HCrO4- hanya terionisasi sedikit sekali. Lagi pula dengan hidrogen kromat berada dalam kesetimbangan dengan dikromat terjadi reaksi :
2H+        +          2CrO4- ↔        2HCrO4               ↔        Cr2O72-                                 +          2H2O

Mengecilnya konsentrasi ion kromat akan menyebabkan perlunya menambah ion perak dengan sangat berlebih untuk mengendapkan ion kromat dan karenanya menimbulkan galat yang besar. Pada umumnya garam dikromat cukup dapat larut. Proses argentometri termasuk dalam titrasi yang menghasilkan endapan dan pembentukan ion kompleks. Proses argentometri menggunakan AgNO3 sebagai larutan standar. Proses ini biasanya digunakan untuk
menentukan garam-garam dari halogen dan sianida. Karena kedua jenis garam ini dapat membentuk endapan atau senyawa kompleks dengan ion Ag+ sesuai dengan persamaan reaksi sebagai berikut :
NaCL + Ag+ → AgCl ↓ + Na+
KCN + Ag+ → AgCl ↓ + K+
KCN + AgCN ↓ → K [Ag(CN)2 ]

Karena AgNO3 mempunyai kemurnian yang tinggi maka garam tersebut dapat digunakan sebagai larutan standar primer. Dalam titrasi argentometri terhadap ion CN- tercapai untuk garam kompleks K [Ag(CN)2 ] karena proper tersebut dikemukakan pertama kali oleh Lieberg, cara ini tidak dapat dilakukan dalam suasana amoniatial karena garam kompleks dalam larutan akan larut menjadi ion komplek diamilum (Harizul, Rivai. 1995).

III. Alat dan Bahan
1. Alat yang digunakan
a. Statif : 1 buah
b. Klem : 1 buah
c. Corong kaca : 1 buah
d. Kaca arloji : 1 buah
e. Pengaduk kaca : 1 buah
f. Buret asam 50 ml : 1 buah
g. Pipet tetes : 1 buah
h. Neraca timbangan : 1 buah
i. Labu ukur 500 ml : 1 buah
j. Labu ukur 100 ml : 1 buah
k. Erlenmeyer 100 ml : 2 buah
l. Erlenmeyer 250 ml : 1 buah
m. Gelas beker 250 ml : 1buah
n. Gelas ukur 50 ml : 1 buah
2. Bahan yang digunakan
1. NaCl kering : 2,925 gram
2. Larutan standar NaCl 0,1N : secukupnya
3. Larutan AgNO3 0,1N : secukupnya
4. Larutan sample garam dapur kasar : 30 ml
5. NH4 CNS padatan : 4,5 gram
6. Larutan NH4CNS : secukupnya
7. AgNO3 padatan : 8,496 gram
8. Larutan HNO3 6 N : 2,5 ml x 3
9. Larutan KBR : 5 ml x 3
10. Fluoresein : 0,5 ml x 3
11. Ferri Amonium sulfat : 0,5 ml x 3
12. Akuades : secukupnya
13. HNO3 encer : 1 ml x 3

  • STANDARDISASI LARUTAN AgNO3 DENGAN LARUTAN STANDARD NaCl (MENGGUNAKAN METODE MOHR).
Cara Kerja :
  • Siapkan larutan NaCl 0,1000 N sebanyak 1000 mL dengan cara melarutkan 5,80 gram NaCl p.a (telah dikeringkan dalam oven 110oC selama 1 jam) dengan aquades di dalam labu ukur 1000 ml.
  • Siapkan larutan AgNO3 0,1000 N sebanyak 500 mL dengan cara melarutkan 9,00 gram AgNO3 dengan aquades di labu ukur 500 mL.
  • Ambil 25,00 mL NaCl dengan pipet volume, tuangkan ke dalam erlenmeyer 250 ml, tambah 1,0 mL larutan K2CrO4 2% sebagai indikator.
  • Titrasi dengan larutan AgNO3 yang telah disiapkan sampai pertama kali terbentuk warna merah bata.
  • Percobaan diulang 3 kali
  • Hitung normalitas AgNO3 dengan persamaan :
artikel 31
  • PENENTUAN KADAR NaCl DALAM GARAM DAPUR
Tujuan :
Menetapkan kadar NaCl dalam garam dapur dengan cara menstandardisasi larutan garam dapur dengan larutan standar AgNO3 menggunakan metode Mohr (Garam dapur telah dikeringkan didalam oven selama 1 jam dengan suhu 1100C)
Cara Kerja :
  • Larutkan 1,00 gram garam dapur dengan aquades di dalam labu ukur 250 mL.
  • Ambil 25,00 mL larutan garam dapur tersebut, tuangkan ke dalam erlenmeyer 250 mL, tambahkan 1,0 mL larutan K2CrO4 2% sebagai indikator.
  • Titrasi dengan larutan standar AgNO3 sampai terbentuk warna merah bata.
  • Percobaan diulang 3 kali
  • Hitung kadar NaCl dalam garam dapur.
artikel 32
FP = faktor pengenceran, dalam prosedur ini 250/25
  • PENENTUAN KADAR KLORIDA DALAM AIR LAUT
Tujuan :
Menentukan kadar ion klorida dalam air laut dengan cara menstandardisasi larutan air laut dengan larutan standar AgNO3.
Cara Kerja :
  • Larutkan 5,00 mL sampel air laut dengan aquades ± 25 mL didalam erlenmeyer 250 mL
  • Tambahkan 1,0 mL larutan K2CrO4 2% sebagai indikator
  • Titrasi dengan larutan standar AgNO3 sampai pertama kali terbentuk warna merah bata.
  • Percobaan diulang 3 kali
  • Hitung molaritas (M) ion khlorida dalam air laut.
artikel 33

Jumat, 10 Januari 2014

PENENTUAN KADAR AL DENGAN GRAVIMETRI

PENENTUAN KADAR AL (alumunium ) DALAM TAWAS


I. Menentukan kadar alumunium dengan prinsip gravimetri

II.  ABSTRAK

Aluminium oksida adalah insulator (penghambat) panas dan listrik yang baik. Umumnya Al2O3 terdapat dalam bentuk kristalin yang disebut corundum atau α-aluminum oksida. Al2O3 dipakai sebagai bahan abrasif dan sebagai komponen dalam alat pemotong, karena sifat kekerasannya. Aluminium oksida berperan penting dalam ketahanan logam aluminium terhadap perkaratan dengan udara. Logam aluminium sebenarnya amat mudah bereaksi dengan oksigen di udara. Aluminium bereaksi dengan oksigen membentuk aluminium oksida, yang terbentuk sebagai lapisan tipis yang dengan cepat menutupi permukaan aluminium. Lapisan ini melindungi logam aluminium dari oksidasi lebih lanjut. Ketebalan lapisan ini dapat ditingkatkan melalui proses anodisasi. Beberapa alloy (paduan logam), seperti perunggu aluminium, memanfaatkan sifat ini dengan menambahkan aluminium pada alloy untuk meningkatkan ketahanan terhadap korosi. Al2O3 yang dihasilkan melalui anodisasi bersifat amorf, namun beberapa proses oksidasi seperti plasma electrolytic oxydation menghasilkan sebagian besar Al2O3 dalam bentuk kristalin, yang meningkatkan kekerasannya.


aluminium oksida terdapat dalam bentuk kristal corundum. Batu mulia rubi dan sapphire tersusun atas corundum dengan warna-warna khas yang disebabkan kadar ketidakmurnian dalam struktur corundum. Aluminium oksida, atau alumina, merupakan komponen utama dalam bauksit bijih aluminium yang utama. Bijih bauksit terdiri dari Al2O3, Fe2O3, and SiO2 yang tidak murni. Campuran ini dimurnikan terlebih dahulu melalui Proses Bayer:
Al2O3 + 3H2O + 2NaOH + panas → 2NaAl(OH)4
Fe2O3 tidak larut dalam basa yang dihasilkan, sehingga bisa dipisahkan melalui penyaringan. SiO2 larut dalam bentuk silikat Si(OH)62-. Ketika cairan yang dihasilkan didinginkan, terjadi endapan Al(OH)3, sedangkan silikat masih larut dalam cairan tersebut. Al(OH)3 yang dihasilkan kemudian dipanaskan
2Al(OH)3 + panas → Al2O3 + 3H2O
Al2O3 yang terbentuk adalah alumina.



 DASAR TEORI
            Alum/Tawas
Tawas/Alum adalah sejenis koagulan dengan rumus kimia Al2S04 11 H2O atau 14 H2O atau 18 H2O umumnya yang digunakan adalah 18 H2O. Semakin banyak ikatan molekul hidrat maka semakin banyak ion lawan yang nantinya akan ditangkap akan tetapi umumnya tidak stabil. Pada pH < 7 terbentuk Al ( OH )2+, Al ( OH )2 4+,  Al2 ( OH )2 4+. Pada pH > 7 terbentuk Al ( OH )-4. Flok –flok Al ( OH )3 mengendap berwarna putih.
Gugus utama dalam proses koagulasi adalah senyawa aluminat yang optimum pada pH netral. Apabila pH tinggi atau boleh dikatakan kekurangan dosis maka air akan nampak seperti air baku karena gugus aluminat tidak terbentuk secara sempurna. Akan tetapi apabila pH rendah atau boleh dikata kelebihan dosis maka air akan tampak keputih – putihan karena terlalu banyak konsentrasi alum yang cenderung berwarna putih. Dalam cartesian terbentuk hubungan parabola terbuka, sehingga memerlukan dosis yang tepat dalam proses penjernihan air.  Reaksi alum dalam larutan dapat dituliskan.:
   Al2S04 +  6 H2O   —–à  Al ( OH )3 + 6 H+ + SO42-
Reaksi ini menyebabkan pembebasan ion H+ dengan kadar yang tinggi ditambah oleh adanya ion alumunium. Ion Alumunium bersifat amfoter sehingga bergantung pada suasana lingkungan yang mempengaruhinya. Karena suasananya asam maka alumunium akan juga bersifat asam sehingga pH larutan menjadi turun.
Jika zat-zat ini dilarutkan dalam air, akan terjadi disosiasi garam menjadi kation logam dan anion. Ion logam akan menjadi lapisan dalam larutan dengan konsentrasi lebih rendah dari pada molekul air, hal ini disebabkan oleh muatan posistif yang kuat pada permukaan ion logam (hidratasi) dengan membentuk molekul heksaquo (yaitu 6 molekul air yang digabung berdekatan) atau disebut dengan logam (H2O)63+ , seperti [Al.(H2O)6]3+ .
Ion seperti ini hanya stabil pada media yang sedikit asam , untuk aluminium pada pH < 4, untuk Fe pada pH < 2.
Jika pH meningkat ada proton yang akan lepas dari ion logam yang terikat tadi dan bereaksi sebagai asam.
Sebelum digunakan satu hal yang harus disiapkan yaitu larutan koagulan. Di dalam larutan, koagulan harus lebih efektif, bila berada pada bentuk trivalen     (valensi 3) seperti Fe3+ atau Al3+, menghasilkan pH < 1,5. Bila larutan alum ditambahkan ke dalam air yang akan diolah terjadi reaksi sebagai berikut :
Reaksi hidrolisa : Al3+ + 3H2O Al(OH)3 + 3H+   ….1)
Jika alkalinitas dalam air cukup, maka terjadi reaksi :
Jika ada CO32− : CO32− + H+ HCO3+ H2O ………..2)
Atau dengan HCO3: HCO3+ H+ CO2 + H2O ……3)
Dari reaksi di atas menyebabkan pH air turun.
Kelarutan Al(OH)3 sangant rendah, jadi pengendapan akan terjadi dalam bentuk flok. Bentuk endapan lainnya adalah Al2O3. nH2O seperti ditunjukkan reaksi :
2Al3+ + (n+3)H2O Al2O3.nH2O + 6H+
Ion H+ bereaksi dengan alkalinitas.
Reaksi-reaksi hidrolisa yang tercantum di atas merupakan persamaan reaksi hidrolisa secara keseluruhan. Reaksi 1) biasanya digunakan untuk menghitung perubahan alkalinitas dan pH.
Pada kenyataannya ion Al3+ dalam larutan koagulan terhidrasi dan akan berlangsung dengan ketergantungan kepada pH hidrolisa. Senyawa yang terbentuk bermuatan positip dan dapat berinteraksi dengan zat kotoran seperti koloid.
[Al(H2O)6]3+     à  [Al(H2O)5OH]2+ + H+
[Al(H2O)5OH]2+      à   [Al(H2O)4(OH)2]+ + H+
[Al(H2O)4(OH)2]+   à    [Al(H2O)3(OH)3] + H+ endapan
[Al(H2O)3(OH)3]    —à   [Al(H2O)2(OH)4]+ H+ terlarut
Tahap pertama terbentuk senyawa dengan 5 molekul air dan 1 gugus hidroksil yang muatan total akan turun dari 3+ menjadi 2+ misalnya : [Al(H2O)5OH]2+.
Jika pH naik terus sampai mencapai ±5 maka akan terjadi reaksi tahap kedua dengan senyawa yang mempunyai 4 molekul air dan 2 gugus hidroksil. Larutan dengan pH >6 (dipengaruhi oleh Ca2+) akan terbentuk senyawa logam netral (OH)3 yang tidak bisa larut dan mempunyai volume yang besar dan bisa diendapkan sebagai flok (di IPA).
Jika alkalinitas cukup ion H+ yang terbentuk akan terlepas dan endapan [Al(H2O)3(OH)3] atau hanya Al(OH)3 yang terbentuk. Pada pH lebih besar dari 7,8 ion aluminat [Al(H2O)2(OH)4]atau hanya Al(OH)4]yang terbentuk yang bermuatan negatip dan larut dalam air. Untuk menghindari terbentuknya senyawa aluminium terlarut, maka jangan dilakukan koagulasi dengan senyawa aluminium pada nilai pH lebih besar dari 7,8.
Polimerisasi senyawa aluminium hidroksil berlangsung dengan menghasilkan kompleks yang mengandung ion Al yang berbeda berikatan dengan ion lainnya oleh grup OH. Contoh :
OH [(H2O)4 Al Al(H2O)4]4+ atau Al2(OH)24+
OH Polinuklir Al kompleks diajukan untuk diadakan, seperti :
[Al7(OH)17]4+ ; [Al8(OH)20]4+ ; [Al13(OH)34]5+
Selama koagulasi pengaruh pH air terhadap ion H+ dan OHadalah penting untuk menentukan muatan hasil hidrolisa. Komposisi kimia air juga penting, karena ion divalen seperti SO42− dan HPO42− dapat diganti dengan ion-ion OHdalam kompleks oleh karena itu dapat berpengaruh terhadap sifat-sifat endapan.
Presipitasi dari hidroksida menjamin adanya ion logam yang bisa dipisahkan dari air karena koefisien kelarutan hidroksida sangat kecil. Senyawa yang terbentuk pada pH antara 4 – 6 dan yang terhidrolisa, dapat dimanfaatkan untuk polimerisasi dan kondensasi (bersifat membentuk senyawa dengan atom logam lain) misalnya Al6(OH)153+.
Aluminium sering membentuk komplek 6 s/d 8 dibandingkan dengan ion Fe (III) yang membentuk suatu rantai polimer yang panjang. Senyawa itu disebut dengan cationic polynuclier metal hydroxo complex dan sangat bersifat mengadsorpsi dipermukaan zat-zat padat. Bentuk hidrolisa yang akan terbentuk didalam air , sebagian besar tergantung pada pH awal, kapasitas dapar (buffer), suhu, maupun konsentrasi koagulan dan kondisi ionik (Ca2+ dan SO42–) maupun juga dari kondisi pencampuran dan kondisi reaksi.
Senyawa Al yang lainnya adalah sodium aluminat, NaAlO2 atau Na2Al2O4. Kelebihan NaOH yang ditambahkan (rasio Na2O/Al2O3 dalam Na2Al2O4 adalah : 1,2 − 1,3/1) untuk menaikkan stabilitas sodium aluminat. Penambahan zat ini dalam bentuk larutan akan menghasilkan reaksi berikut :
AlO2+ 2H2O Al(OH)4
Al(OH)4 Al(OH)3 + OH
Reaksi kedua hanya mungkin bila asiditas dalam air cukup untuk menghilangkan ion OHyang terbentuk sehingga menyebabkan kenaikan pH.
CO2 + OH HCO3
HCO3 + OH CO3 2− + H2O
Kadang-kadang bila air tidak mengandung alkalinitas, perpaduan antara sodium aluminat dan alum digunakan untuk menghindari perubahan pH yang besar dan untuk membuat pH relatif konstan.
2Al3+ + 3SO42− + 6H2O 2Al(OH)3 + 3SO2− + 6H+
6AlO2 + 6Na+ + 12H2O 6Al(OH)3 + 6Na+ + 6OH
_________________________________________________________
             2Al3+ + 3SO42− + 6Na+ + 6AlO2+ 12H2O 8Al(OH)3 + 6Na++3SO42−
Pada prakteknya satu hal dipertimbangkan memberikan kelebihan asam dari larutan alum (pH 1,5) yang ditambahkan dan yang lainnya kelebihan NaOH di dalam sodium aluminat (untuk stabilitas).
Pada kekeruhan yang disebabkan tanah liat sangat baik dihilangkan dengan batas pH antara 6,0 sampai dengan 7,8; penghilangan warna umumnya dilakukan pada pH yang sedikit asam, lebih kecil dari 6, bahkan di beberapa daerah harus lebih kecil dari 5. Dari beberapa penelitian (untuk air gambut dari daerah Riau), efisiensi penghilangan warna akan baik bila pH lebih kecil dari 6 untuk setiap dosis koagulan alum sulfat yang digunakan. Walaupun demikian efisiensi penghilangan warna masih tetap tinggi dihasilkan pada koagulasi dengan pH sampai 7, tetapi dengan dosis alum sulfat yang lebih tinggi (sampai 100 mg/l), tetapi bila dosis alum sulfat lebih kecil (60 mg/l) pada pH yang sama (sampai dengan 7), terjadi penurunan efisiensi penghilangan warna secara drastis (sampai dengan 10 %).
Air setelah diolah dengan koagulasi – flokulasi untuk menghilangkan warna, pH harus ditetapkan diatas 6,5 (kurang dari 7,8) sebelum air disaring, karena pada pH tersebut bentuk aluminium tidak larut, jadi residu Al3+ terlarut didalam air dapat dihilangkan/dikurangi, pada pH > 7,8 bentuk Al adalah Al terlarut yaitu ion aluminat, [Al(H2O)2(OH)4]Untuk hal ini dilakukan penambahan kapur sebelum proses filtrasi, dan biarkan aluminium berubah bentuk menjadi bentuk tidak larut/endapan supaya dapat dihilangkan dengan penyaringan. Dengan cara ini residu Al3+ dapat ditekan sampai tingkat yang diijinkan. Setelah itu baru boleh dilakukan penambahan kembali kapur atau soda abu untuk proses Stabilisasi dengan harapan tidak akan terjadi perubahan alum terlarut menjadi alum endapan. Bila cara diatas tidak dilakukan, kemungkinan akan terjadi pengendapan alum di reservoir atau pada jaringan pipa distribusi, akibat penambahan kapur atau soda abu untuk proses stabilisasi dilakukan setelah air keluar dari filter, seperti halnya yang dilakukan pada pengolahan air yang biasa ( tidak berwarna ).
Proses koagulasi dengan koagulan lain seperti halnya garam Fe (III) yang mempunyai rentang pH lebih besar (4–9) dan penggunaan koagulan Polyaluminium chloride (PAC), tanpa penetapan pH pun proses koagulasi – flokulasi tetap dapat berlangsung, tetapi pembentukan flok tidak optimum, hanya flok-flok halus yang terbentuk, sehingga beban filter akan bertambah.
Jika kehadiran alkalinitas didalam air cukup, pada koagulasi dengan koagulan garam Al ion H+ yang terbentuk akan diambil dan terbentuk endapan [Al(H2O)3(OH)3] atau hanya Al(OH)3, dimana bentuk ini bermanfaat pada pertumbuhan flok ( mekanisme adsorpsi ). Adanya alkalinitas didalam air jika pH air > 4,5. Jadi jika pH air baku < 4,5 perlu penambahan bahan alkali (kapur atau soda abu).
PAC ( Poly Aluminium Chloride )
Senyawa Al yang lain yang penting untuk koagulasi adalah Polyaluminium chloride (PAC), Aln(OH)mCl3n-m.
Ada beberapa cara yang sudah dipatenkan untuk membuat polyaluminium chloride yang dapat dihasilkan dari hidrolisa parsial dari aluminium klorida, seperti ditunjukkan reaksi berikut :
n AlCl3 + m OH. m Na+ Al n (OH) m Cl 3n-m + m Na+ + m Cl
Senyawa ini dibuat dengan berbagai cara menghasilkan larutan PAC yang agak stabil.
PAC adalah suatu persenyawaan anorganik komplek, ion hidroksil serta ion alumunium bertarap klorinasi yang berlainan sebagai pembentuk polynuclear mempunyai rumus umum Alm(OH)nCl(3m-n).  Beberapa keunggulan yang dimiliki PAC dibanding koagulan lainnya adalah :
1.             PAC dapat bekerja di tingkat pH yang lebih luas, dengan demikian tidak diperlukan pengoreksian terhadap pH, terkecuali bagi air tertentu.
2.             Kandungan belerang dengan dosis cukup akan mengoksidasi senyawa karboksilat rantai siklik membentuk alifatik dan gugusan rantai hidrokarbon yang lebih pendek dan sederhana sehingga mudah untuk diikat membentuk flok.
3.             Kadar khlorida yang optimal dalam fasa cair yang bermuatan negatif akan cepat bereaksi dan merusak ikatan zat organik terutama ikatan karbon nitrogen yang umumnya dalam truktur ekuatik membentuk suatau makromolekul terutama gugusan protein, amina, amida dan penyusun minyak dan lipida.
4.             PAC tidak menjadi keruh bila pemakaiannya berlebihan, sedangkan koagulan yang lain (seperti alumunium sulfat, besi klorida dan fero sulfat) bila dosis berlebihan bagi air yang mempunyai kekeruhan yang rendah akan bertambah keruh. Jika digambarkan dengan suatu grafik untuk PAC adalah membentuk garis linier artinya jika dosis berlebih maka akan didapatkan hasil kekeruhan yang relatif sama dengan dosis optimum sehingga penghematan bahan kimia dapat dilakukan. Sedangkan untuk koagulan selain PAC memberikan grafik parabola terbuka artinya jika kelebihan atau kekurangan dosis akan menaikkan kekeruhan hasil akhir, hal ini perlu ketepatan dosis.
5.             PAC mengandung suatu polimer khusus dengan struktur polielektrolite yang dapat mengurangi atau tidak perlu sama sekali dalam pemakaian bahan pembantu, ini berarti disamping penyederhanaan juga penghematan untuk penjernihan air.
6.             Kandungan basa yang cukup akan menambah gugus hidroksil dalam air sehingga penurunan pH tidak terlalu ekstrim sehingga penghematan dalam penggunaan bahan untuk netralisasi dapat dilakukan.
7.             PAC lebih cepat membentuk flok daripada koagulan biasa ini diakibatkan dari gugus aktif aluminat yang bekerja efektif dalam mengikat koloid yang ikatan ini diperkuat dengan rantai polimer dari gugus polielektrolite sehingga gumpalan floknya menjadi lebih padat, penambahan gugus hidroksil kedalam rantai koloid yang hidrofobik akan menambah berat molekul, dengan demikian walaupun ukuran kolam pengendapan lebih kecil atau terjadi over-load  bagi instalasi yang ada, kapasitas produksi relatif tidak terpengaruh